Minggu, 10 Januari 2016

pemikiran islam hamzah alfansuri



PEMIKIR PENDIDIKAN ISLAM
“ HAMZAH FANSURI ”





Pembimbing: Rosnawati, MA
Penyusun: Fakrur Azmi

No Bp/ Nimko: 1.14.4318/ 1204.14.4288


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MIFTAHUL 'ULUM
(STAI MU ) JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
(PAI  MALAM)  SEMESTER III/ TANJUNGPINANG
TAHUN AJARAN 2015/ 2016
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji serta syukur kami panjatkan kehadirat Ilahi Rabbi karena Allah semata, atas limpahan rahmat dan segala karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. kemudian shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah Saw. Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya kepada Guru kami Yth:
Ibu Rosnawati selaku Dosen Mata Kuliah Sejarah Pemikiran Pendidikan Islam
Makalah ini disusun berdasarkan kebutuhan bahan ajar mata kuliah Sejarah Pemikiran Pendidikan Islam. Dalam makalah ini tersaji tentang peran-peran pemikir Islam dari Hamzah Fansuri. Makalah ini diharapakan dapat mempermudah mahasiswa dalam mempelajari materi perkuliahan  Sejarah Pemikiran Pendidikan Islam dan pada akhirnya diharapkan dapat meningkatakan perolehan hasil belajar yang berkompeten.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca khususnya para mahasiswa PAI (pendidikan agama islam) di Sekolah Tinggi Agama Islam Miftahul ‘Ulum Tanjungpinang. Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan Makalah ini masih kurang sempurna, baik dari segi penyusunan, bahasan, ataupun penulisannya. Untuk itu, kepada pembimbing kami meminta masukannya demi kesempurnaan  dalam makalah ini dan kedepannya.
                                                                 
Tanjungpinang, 06 Januari 2016
Fakrur Azmi




DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................................................................         i
Daftar Isi ......................................................................................................................        ii

BAB I : PENDAHULUAN
                     A.          Latar Belakang .........................................................................................       5
                      B.          Rumusan Masalah ....................................................................................       6
                      C.          Tujuan Masalah ........................................................................................       6

BAB II : PEMIKIRAN PENDIDIKAN HAMZAH AL-FANSURI
                     A.          Biografi Hamzah Al-Fansuri .......................................................................    7
                      B.          Perkembangan Tasawuf Falsafi Dan Sunni ..................................................   9
1.    Pengertian Tasawuf Sunni Dan Falsafi ...................................................   10
2.    Latar Belakang Pemikiran .....................................................................     12
3.    Peran Hamzah Fansuri Dalam Dunia Pendidikan ....................................  12
4.    Karya-Karya Hamzah Al-Fansuri ............................................................   14
5.    Karya Hamzah Fansuri Berbentuk Syair .................................................   14
6.    Pemikiran Hamzah Al-Fansuri ................................................................   15
7.    Puisi Hamzah Al Fansuri .........................................................................   18

BAB III : PENUTUP
                             A.             Kesimpulan ........................................................................................        22
                              B.             Saran ...................................................................................................       22
Daftar Pustaka ...............................................................................................................       iv


BAB I
PENDAHULUAN
    A.            Latar Belakang
Kita tidak asing lagi mendengar dengan sebutan Syeikh Hamzah Al-Fansuri. Beliau dikenal sebagai salah satu pelopor sastra melayu.puisi-puisinya banyak diperbinsangkan dan menjadi rujukan sastrawan setelahnya. Syeikh Hamzah Fansuri diakui salah seorang pujangga Islam yang sangat populer di zamannya yaitu pada (Abad 16 dan 17M), sehingga kini namanya menghiasi lembaran-lembaran sejarah kesusasteraan Melayu dan Indonesia. Namanya tercatat sebagai tokoh kaliber besar dalam perkembangan Islam di Nusantara dari abadnya hingga ke abad kini.
Syeikh Hamzah Fansuri, selain dikenal sebagai penyair atau pujangga  juga merupakan salah satu tokoh sufi. Hampir semua penulis sejarah Islam mencatat bahwa Syeikh Hamzah Fansuri dan muridnya Syeikh Syamsuddin Sumatrani adalah termasuk tokoh sufi yang sefaham dengan al-Hallaj, faham hulul, ittihad, mahabbah dan lain-lain adalah seirama.disebabkan faham sufinya tersebut,Syeikh dari Aceh ini banyak mendapat kritikan dan perlawanan dari golongan yang tidak sefaham dengannya.
Meskipun paham sufinya mendapatkan pertentangan dari beberapa kalangan sehingga membuat buku-bukunya dibakar akan tetapi namanya tidak lekang oleh zaman. Sejarah pembakaran buku sebagaimana terjadi pada awal masuknya Islam tidak boleh terulang. Buku bagaimanapun kontroversialnya, tetap merupakan sebuah produk intelektual dari hasil perenungannya. Pembakaran buku, pengekangan kebebesan berpikir justru akan membuat peradaban berjalan mundur. 


     B.            Rumusan Masalah
            Adapun permasalah berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahannya adalah :
1.      Bagaimana biografi tokoh pemikir Islam Hamzah Fansuri ?
2.      Apa peranannya dalam pendidikan Islam ?

    C.            Tujuan Masalah
Adapun tujuan berdasarkan permasalahan diatas, maka tujuannya sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui bagaimana biografi filsuf Islam Hamzah Al-Fansuri.
2.      Untuk mengetahui apa saja peran beliau dalam dunia pendidikan Islam.










BAB II
PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM HAMZAH AL-FANSURI
  A.          Biografi Hamzah Al-Fansuri
Hamzah al-Fansuri atau dikenal juga sebagai Hamzah Fansuri adalah seorang cendikiawan, sebagai ulama sufi dan sastrawan yang hidup pada abad ke-16M. Meskipun nama al-Fansuri sendiri berarti berasal dari Barus ( tempat sekarang berada di provinsi Sumatera Utara) ada pula sarjana yang berpendapat ia lahir di Ayutthaya, ibukota lama kerajaan Siam[1]. Hamzah al-Fansuri lama berdiam di Aceh. Ia terkenal sebagai penganut aliran wahdatul wujud. Dalam sastra Melayu ia dikenal sebagai pencipta genre syair.  A Teeuw menyebutkan bahwa ” Hamzah Fansuri memperkenalkan individualitas, hal yang sebelumnya tidak dikenal dalam sastra Melayu lama. Dia juga memperkenalkan bentuk puisi baru untuk mengekspresikan diri. Inovasi lain adalah pemakaian bahasa yang kreatif. Hamzah Fansuri tidak segan-segan meminjam kata-kata dari bahasa Arab dan Persia dalam puisinya” sehingga beliau sering disebut sebagai “ sang pemula puisi Indonesia[2].
Hamzah al fansuri di gelar (takhallus) yang tercantum di belakang nama kecilnya memperlihatkan bahwa pendekar puisi dan ilmu suluk ini berasal dari Fansur, sebutan orang-orang Arab terhadap Barus, sekarang sebuah kota kecil di pantai barat Sumatra yang terletak antara kota Sibolga dan Singkel. Sampai abad ke-16 kota ini merupakan pelabuhan dagang penting yang dikunjungi para saudagar dan musafir dari negeri-negeri jauh.
Sayang sekali bukti-bukti tertulis yang dinyatakan kapan sebenarnya Syeikh Hamzah Fansuri lahir dan wafat, di mana dilahirkan dan di mana pula jasadnya dibaringkan dan di tanam, tak dijumpai sampai sekarang. Tetapi dari syair dan dari namanya sendiri menunjukkan bahwa sudah sekian lama beliau berdominasi di Fansur dekat Singkel sehingga mereka dan turunan mereka pantas digelari Fansur.
Pada ahli cenderung memahami dari syair-syairnya bahwa Hamzah Fansuri lahir di tanah Syahmawi, tapi tidak ada kesepakatan mereka dalam mengidentifikasikan tanah Syahmawi itu, ada petunjuk tanah Aceh sendiri ada yang menunjuk tanah Siam, dan bahkan ada sarjana yang menunjuk negeri Persia sebagai tanah yang di Aceh oleh nama Syamawi[3].
Dalam buku Hamzah Fansuri Penyair Aceh, Prof. A. Hasymi menyebut bahwa “Syeikh Hamzah Fansuri hidup dalam masa pemerintahan Sultan Alaidin Riayat Syah IV Saiyidil Mukammil (997-1011 H-1589-1604 M) sampai ke permulaan pemerintahan Sultan Iskandar Muda Darma Wangsa Mahkota Alam (1016-1045 H-1607-1636 M)”.
Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Syeikh Hamzah al-Fansuri telah belajar berbagai ilmu yang memakan waktu lama. Selain belajar di Aceh sendiri beliau telah mengembara ke pelbagai tempat, di antaranya ke Banten (Jawa Barat), bahkan sumber yang lain menyebut bahwa beliau pernah mengembara keseluruh tanah Jawa, Semenanjung Tanah Melayu, India, Parsi dan Arab. Dikatakan bahwa Syeikh Hamzah al-Fansuri sangat mahir dalam ilmu-ilmu fikih, tasawuf, falsafah, mantiq, ilmu kalam, sejarah, sastra dan lain-lain. Dalam bidang bahasa pula beliau menguasai dengan kemas seluruh sektor ilmu Arabiyah, fasih dalam ucapan bahasa itu, berkebolehan berbahasa Urdu, Parsi, Melayu dan Jawa[4].
Riwayat hidup Hamzah Fansuri masih dipersoalkan oleh para peneliti dan sangat sulit diketahui. Sampai sekarang tidak ditemukan bukti-bukti tertulis yang memaparkan masa dan perjalanan hidupnya, apa saja risalah tasawuf dan berapa banyak jumlah puisi asli yang telah ditulis olehnya. Valentinj, sarjana Belanda yang berkunjung ke Barus pada awal abad ke-18 “telah melaporkan dalam catatan perjalananya bahwa masyarakat Melayu di Sumatera memberi penghargaan yang tinggi kepada puisi-pusi Hamzah Fansuri”. Hanya berdasarkan fakta yang terbatas, pengkaji memastikan bahwa Hamzah Fansuri hidup antara pertengahan abad ke-16 hingga awal ke-17 M. Kreamer mengemukakan bahwa ” Nama Fansuri tidak disebut di dalam Hikayat Aceh, karena tokoh ini sering mengembara dan jarang sekali berada di Aceh”. Bahkan Nur al-Din al-Raniri penulis kitab Bustan sebenarnya mengetahui bahwa Hamzah Fansuri ialah tokoh penting pada zamannya dan banyak sekali muridnya. Untuk mencantumkan nama Hamzah Fansuri dengan tinta emas dalam lembaran sejarah Aceh, sama saja maknanya dengan mencoreng nama baik kerajaan yang begitu harum sebagai pusat syiar dan kebudayaan islam.
Dalam Hujjat al-Shiddiq secara tersirat al-Raniri ”menilai kedudukan ulama-ulama lokal seperti Hamzah Fansuri dan Syams al-Din Pasay masih rendah dalam penguasaan ilmu agama dan keruhanian”. Penjelasan-penjelasan mereka tentang ilmu ketuhanan dan ontology sufi dianggap menyesatkan pemahaman masyarakat awam.  Hamzah Fansuri juga dianggap sebagai pembawa ajaran wujudiyah dlalalah, yakni wujudiyah yang mulhid lagi zindiq.
Kraemer mengemukakan bahwa “Hamzah Fansuri hidup hingga tahun 1636”. Kemudian menurut Winstedt, “Fansuri wafat 1630 M”. Syed M. Naquib al-Attas dan Brakel mengemukakan bahwa Hamzah Fansuri ”hidup setidak-tidaknya sampai awal abad ke-17 M ”. Pendapat ini agak dapat diterima akal jika dicocokkan dengan beberapa fakta:
Ø  Muncul kitab al-Tuhfah pada awal abad-17 di Aceh dan cepatnya ajaran ‘martabat tujuh’ tersebar luas tidak berarti bahwa peranan Hamzah Fansuri dan pengaruh ajaran tasawufnya berkurang, apalagi menambahkan dia sudah wafat.
Secara prinsipil tidak ada perbedaan yang berart dan penting antara ajaran ‘martabat tujuh’ dengan ‘martabat lima’. Dua ajaran tasawuf ini dalam banyak aspek tetap setia pada sumber asalnya, yakni ajaran Ibn ‘Arabi, Sadr al-Din al-Qunawi, Fakh al-Din Iraqi, Abd Karim al-JiIli, dan Abd al-Rahman Jami.
Ø  Pada zaman tersebar luiasnya ajaran ‘martabat tujuh’ di Sumatera dan Jawa, setidaknya pada akhir abad ke-17, ada dua karya Hamzah Fansuri, yaitu al-Muntahi dan Syarah al-Asyiqin diterjemahkan ke dalam bahsa Jawa dan Banten (Drewes dan Brakel 1986,226-77)
Ø  Hamzah Fansuri sering menyebut nama kota Barus yang mungkin merupakan tempat dia paling banyak menghabiskan sebagian besar hidupnya  dan menjalankan kegiatan kesufiannya. [2]
Dalam salah satu syairnya disebutkan bahwa ia lahir di suatu desa bernama Syharu Nawi di Siam, yaitu yang sekarang disebut Thailand. Ia hidup pada masa Sultan Alauddin Ri’ayat Syah dan awal pemerintahan Sultan Iskandar Muda  di kerajaan Aceh  antara 1550-1605. Salah satu muridnya yang terkenal adalah Syam al-Din al-Sumaterani.
  B.          PerkembanganTasawuf Falsafi dan Tasawuf Sunni
Lepas dari peran para sufi. Ketiga tokoh yang coba diangkat dalam makalah ini, Hamzah Fansuri, al-Raniri, Singkili merupakan tokoh perintis tasawuf di masa awal Indonesia. Haidar Bagir dalam memberikan pengantar di buku “Antara Tasawuf Sunni & Falsafi: Akar Tasawuf di Indonesia” mengatakan bahwa tasawuf Sunni bersifat suluki, tasawuf akhlaqi, tarekat, dan penyimpangan-penyimpangan darinya”. Tasawuf falsafi sempat menjadi pesaing yang tangguh bagi tasawuf Sunni. Kedua aliran tasawuf ini meski dalam beberapa hal berbagi pemahaman dan keyakinan yang sama, tetap saja tak terhindar dari konflik. Diantara perdebatan yang hangat adalah perdebatan Hamzah Fansuri—yang mawakili tasawuf falsafi, sedangkan al-Raniri dan al-Singkili mewakili Tasawuf Sunni.
Perlu diketahui bahwa  tasawuf Sunni lebih banyak memberikan kontribusi dalam proses Islamisasi di Indonesia. Para pelopor dakwah menjabarkan ajaran-ajaran Islam dengan cara praktik, keteladanan, serta pengakaran yang lebih baik. Orientasi seperti ini terikat oleh tradisi dan petunjuk-petujukn Nabi. Oleh karena itu model pengajaran tasawuf Sunni  yang diperkenalkan para da’i Alawiyyin yang memotori proses islamisasi diNusantara sejak abad ke -13M di Sumatera mengalami kemajuan pesat di Jawa pada abad 15-16 M dengan tokoh-tokoh sentral Wali Songo. Satu abad mendatang, muncul tulisan-tulisan dalam tasawuf yang berorientasi filosofis di Sumatera. Perkembangan ini mencerminkan pergelutan pemikiran dan ideology antara tasawuf Sunni dan falsafi di Indonesia.  
Pigeand,  seorang orientalis, memandang perlu mengklasifikasikan “umat Islam Indonesia periode 15 & 19 ke dalam dua golongan, yakni golongan sufi dan ahl Sunnah wa ahl Sunnah wa al-jamaah. Kelompok pertama di atas merupakan penganut tasawuf falsafi, seperti Hamzah Fansuri dan Syamasuddin al-Sumaterani dari Sumatera, serta Ronggo Warsito di Jawa yang semuanya penganut Panteisme atau Wahdah al-Wujud”. Ironisnya al-Ghazali menurut Micholson “bukan sufi karena tidak meilki pandagan panteisme”. Oleh karenanya pembatasan seperti itu tidak dapat diterima. Menurut al-Ghazali, tasawuf adalah “wahana pendidikan moral dan jembatan menuju akhirat serta gerakan revitalisasi pengetahuan agama dalam taraf teoritis dan praksis”.
1.    Pengertian tasaawuf  sunni dan falsafi
Adapun yang dimaksud dengan tasawuf Sunni adalah tasawuf yang dikembangkan para sufi abad ke-3 dan ke-4 H oleh al-Ghazali dan pengikutnya yang berwawasan moral praktis dan bersandarkan kepada al-Quran dan Sunnah. Sedangkan tasawuf falsafi menggabungkan tasawuf dengen berbagai aliran mistik dari lingkungan di luar Islam. Seperti Hinduisme, kependetaan Kristen, teosofi, dan Neo Plationisme. Meskipun demikian, Nicholson dan Spencer Trimingham “tetap mengakui adanya sumber Islam dalam tasawuf”.  
Tasawuf Sunni dapat disebut juga dengan tasawuf akhlaqi.  Ia berkembang dari zaman klasik hingga modern. Tasawuf ini juga banyak berkembang di dunia Islam, terutama di Negara-negaa bermazhab Syafi’i.
Ciri-ciri tasaswuf Sunni adalah:
ü Melandaskan diri pada al-Quran dan Sunnah.
ü Tidak menggunakan terminologi-terminologi filsafat sebagaimana terdapat pada ungkapan syathohat.
ü Bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antara Tuhan dan manusia.
ü Kesinambungan antara hakikat dan syariat.
ü Lebih berkonsentrasi pada persoalan pembina’an, pendidikan akhlaq, serta pengobatan jiwa dengan cara riyadhah (latihan mental), dan langkah takholli, tahalli dan tajalli[5]
Jika kita menilik sejarahnya dapat diketahui pada abad III dan IV H, terdapat dua aliran, yakni tasawuf Sunni dan tasawuf semi falsafi.  Pertarungan Tasawuf akhirnya  dimenangkan oleh tasawuf Sunni dengan tokohnya Abu Hasan al-Asyari dan al-Ghazali. Perkembangan tasawuf pada tersebut yang berlansung sekitar abad V H mengalami reformasi. Tokoh yang paling menonjol dalam hal ini adalah Imam al-Qusyairi (yang wafat pada tahun 465 H) yang berperan melapangkan jalan bagi al-Ghazali untuk memenangkan tasawuf Sunni di Dunia Islam. Kemenangan itu juga terlihat dari sosok  pelopor dakwah Islam di Indonesia yang ternyata adalah anak cucu Imam Ahmad ibn Isa al-Muhajir. Garis keturunan al-Muhajir berkesinambuungan sampai kepada Imam Ja’far al-Shadiq, yang menurut al-Qusyari dan al-Attar merupakan peletak dasar tasawuf.
Dari situ pula sejarawan, Orientalis, dan peneliti menyimpulkan bahwa tasawuf merupakan faktor terpenting bagi tersebarnya Islam secara luas di Asia Tenggara. Akan tetapi ada perbedaan pendapat mengenai kedatangan tarekat dan tasawuf falsafi yang diasumsikan menjadi sumber inspirasi dalam penyebaran Islam tersebut. Namun tasawuf Sunni lah yang memberikan kontribusi dalam proses Islamisasi di Indonesia.
2.    Latar Belakang Pemikiran
Pemikiran Hamzah Fansuri banyak dipengaruhi olah ajaran sufi Arab dan Persia sebelum abad ke-16M, seperti Bayazid Busthami, Mansur al-Hallaj, Faridud din al-Attar, Syaikh Junaid al-Baghdadi, Ahmad  Ghazali, iBn Arabi, Rumi, Maghribi, Mahmud Shabistari, iRaqi, jami, dan al-Qunawi. Namun menurut penulis sendiri(pemakalah) lebih mengunggulkan pengaruh dari Ibn Arabi lah yang terlihat cukup besar dalam pemikiran tasawufnya, terutama dalam pemikiran wahdah al-Wujud, berdasarkan artikel-artikel yang tertulis dari berbagai sumber bacaan sedikitnya dari daftar pustaka ini dan sebagian juga dari mendengarkan bukti- bukti sejarah di daerah Aceh.
3.         Peran Hamzah Fansuri dalam dunia pendidikan
Fansuri bukan hanya seorang ulama dan sastrawan terkemuka, tetapi seorang perintis dan pelopor. Sumbangannya sangat besar bagi perkembangan kebudayaan Islam, khususnya dalam bidang keruhanian, keilmuwan, filsafat, bahasa, dan sastra.  Selain itu ia juga berani melancarkan serangan kritiknya kepada raja dan bangsawan, sehingga tidak mengherankan kalangan istana kurang suka padanya hingga menyebabkan namanya tak tertulis di dua sumber penting sejarah Aceh, baik Hikayat Aceh, maupun Bustan al-Salatin.
Berikut penjelasan besarnya peran Hamzah Fansuri, terutama untuk Nusantara:
Ø Di bidang keilmuan, ia mempelopori penulisan risalah tasawuf/ keagamaan yang demikian sistematis dan bersifat ilmiah.
Ø Di bidang sastra, ia mempelopori penulisan puisi-puisi filosofis dan mistis bercorak Islam. Fansuri juga merupakan orang yang pertama kali mencetuskan puisi empat baris dengan skema sajak akhir a-a-a-a. Selain itu, masih dalam bidang sastra, ia juga berhasil meletakkan dasar-dasar puitika dan estetika melayu yang mantap dan kukuh.
Ø Di bidang kebahasaan, ia berhasil mengang kat martabat bahasa Melayu dari sekedar lingua franca menjadi suatu bahasa intelektual dan ekspresi keilmuan yang canggih dan modern. Dengan demikian kedudukan bahasa Melayu begitu penting, bahkan mengungguli bahasa Jawa yang sebelumnya telah jauh bekembang[6].
Di dalam syarah al-Asyiqin, yang menurut Sayed M. Naquib al-Attas  merupakan risalah tasawuf pertama Hamzah Fansuri, secara tersirat penulisnya mengatakan bahwa karyanya ditulis untuk memenuhi tuntutan masyarakat Melayu di Aceh pada saat itu, yakni memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan musykil berkenaan dengan masalah al-A’yan al-Tsabitah atau tasawuf wujudiyah.
Dari situ kita bisa mengetahui bahwa belum ada buku tasawuf yang ditulis dalam bahasa melayu. Kitab-kitab yang ada masih bahasa Arab dann Parsi. Dengan karyanya tersebut, Hamzah Fansuri tebukti bukan hanya seorang pembaru spiritual  pada masanya, tetapi juga perintis penulisan kitab keagamaan dan keilmuan dalam bahasa Melayu[7]. Di bidang filsafat, tafsir, dan tela’ah sastra beliau juga mempelopori penerapan metode ta’wil atau hermeneutika keruhaniahan.
Hal itu dapat dilihat dalam karyanya Asrar al-Arifin (rahasia orang-orang ‘Arif), sebuah risalah tasawuf klasik yang pernah dihasilkan oleh ahli tasawuf Nusantara. Di situ ia membahas tafsir dan ta’wil atas puisinya sendiri, dengan analisis yang tajam dan dengan landasan pengetahuan yang luas mencangkup metafisika,teologi, logika, epistemology, dan estetika[8].

4.         Karya- karya hamzah al fansuri
Karya Hamzah Fansuri yang dapat dijumpai peneliti adalahTiga buah Risalah berbentuk prosa dan 32 kumpulan syair yang menggunakan bahasa melayu.
Ketiga risalah tersebut yakni:
Ø Asrar al-Arifin (rahasia orang-orang ‘Arif):
o   berisi uraian atau penafsiran terhadap 15 bait puisi-puisi sufistik yang ia ciptakan sendri mengenai masalah metafisika dan ontology wujudiyah.
Ø Syarah al-Asyiqin (minuman segala orang yang berahi):
o    berisi tentang ringkasan ajaran wahdah al-Wujud dan cara mencapai makrifat. Pada akhir abad-17 Syarah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa bersamaan dnegan tersebarnya paham wujudiyah di pulau Jawa. Syarh ini juga ditulis sebagai panduan bagi pemula ilmu suluk.
Ø Mentahi (ufuk terjauh):
o    berbicara tentang bagaimana penciptaan alam, bagiamana Tuhan memanifestasikan diri-Nya, dan bagiamana upaya manusia untuk kembali ke asalnya.

5.         Karya hamzah fansuri berbentuk syair:
Ø Syair Ikan tongkol/ tunggal
Ø Syair Si Burung Pingai
Ø Syair Bahr al-Haq

6.         Pemikiran hamzah al fansuri
Ø Syariat,
Ø Tarekat,
Ø Hakekat, dan
Ø  Makrifat :
Hamzah Fansuri menganggap pentingnya syariat dalam perjalanan tasawufnya. Sebagai seorang Syaikh, ia memperingatkan pengikutnya yang menempuh jalan tarekat agar tidak melecehkan syariat. Ia mengatakan bahwa “ barang siapa mengerjakan sembahyang fardhu, puasa fardhu, makan halal, meninggalkan haram, tidak dengki, tidak ujub, tidak takabbur, dll, berarti ia menggunakan syariat”. Karena perbutan-perbuatan tersebut adalah perbuatan Rasulullah seyogyanya kita masuk ke dalam tarekat, karena ia tidak lain daripada syariat. Perlu diketahui bahwa tarekat merupakan hakikat, karena tarekat merupakan permualan hakikat sebagaimana syariat permulaam taarekat. Selanjutnya ia juga mengatakan bahwa alam hakikat itu jalan Nabi Muhammad Rasulullah, kesudahan jalannya. Barang siapa memakai ketiganya (syariat, tarekat, hakikat) maka ia kamil mukammal.
Sementara pandangannya tentang makrifat, menurutnya, makrifat adalah rahasia Nabi. Tidak sah sembahyang tanpa makrifah. Makrifat ialah mengenal Allah dengan sebenarnya, mengenal bahwa ia tidak terhingga dan berkesudahan, esa, bukan dua, kekal, tidak fana, tidak putus, tidak kekal, tidak mitsal dan sekutu, tidak bertempat, tidak bermasa dan tidak berakhir”[9].
Ø Wujudiyyah
Ketika membicarkan wujud Allah dan wujud alam ia membedakan pandangannya bagi Ahl al-Suluk. Bagi ulama syariat, zat Allah dan wujud Allah dua hukumnya, begitu juga dengan wujud  ilmu dan alim, alam dan wujud Allah. Sementara menurut ahl-as-Suluk, zat Allah dan Wujud Allah esa hukumnya, Wujud alam dan wujud Allah esa juga hukumnya, karena alam tidak berwujud  dengan dirinya sendri, tetapi wujudnya adalah wujud yang diberikan oleh Tuhan, seperti cahaya bulan yang bercahaya tidak dengan cahayanya sendiri, tatapi cahaya yang dipantulkan dari matahari.
Berkaiatan dengan menyatunya Tuhan dan alam, ia mengatakan “Sebagaimana laut tidak bercerai dengan ombaknya, demikian juga Allah tidak bercerai dengan alam. Akan tetapi keberadaanya bukan di dalam alam, bukan pula di luar alam, ia bukan di atas dan bukan di bawah, bukan di kanan alam, bukan pula di kiri alam, bukan di hadapan bukan pula di belakang alam, Ia tidak berpisah dan tidak pula bersatu dengan alam, tidak dekat dan tidak jauh.
Ø Nur Muhammad
Nur Muhammad merupakan pengetahuan Tuhan yang meliputi semua yang ada dan masih berada di alam ghaib. Ia dinamakan hakikat Muhammadiyah atau awal manisfestasi Zat Tuhan ( roh Idhofi/ akal paripurna/ nur/ qolam yang Maha Tinggi.  Dalam hal ini Rasulullah bersabda: “Yang pertama diciptakan Allah adlah ruh; yang pertama diciptakan Allah adalah akal; yang pertama diciptakan Allah adalah al-Qolam,”
Menurut Fansuri yang dimaksud Rasulullah adalah ”ilmu Tuhan yang karena ia adalah kehidupan, maka dinamakan  ruh; atau karena makna inforasi yang nyata, maka ia dinamakan cahaya; atau karena informasi termuat  dalam huruf-huuf maka ia dinamakan al-Qolam, pena; atau karena ruh dan cahya atau karena keduanya menampakkan informasi yang diketahui”. Itu sebabnya Allah berifman dalam hadist Qudsi, “kalau bukan karenamu Muhammad , niscaya Aku tidak menciptakan alam”. Jadi kalau bukan karena Nur Muhmaad, niscaya alam ini  tidak tercipta, sesuai dengan hadist Qudsi “ Aku menciptakan semua karena engkau, dan Aku menciptakan engkau karena Aku[10].
Ø  Martabat penciptaan
Dalam bab V kitab Syarh al-ASyiqin disebutkan tentang prinsip-prinsip ontology wujudiyah, yaitu mengenai tajalli zat Tuhan. Ia menerjemahkan tajallli sebagai penampakan pengetahuan Tuhan melalui penciptaan alam semesta dan isinya. Penciptaan secara turun men urn tersusun dari lima martabat, yaitu dari atas ke bawah, dari yang tinggi ke yang rendah, sesuai peringkat keruhanian dan luas-sempit sifatnya, dari yang umum ke yang khusus.
Zat Tuhan disebut la ta’ayun, karena akal pikiran, perkataan, pengetahuan dan makrifat menusia tidak akan sampai kepada-Nya. Pandangan ini didasarkan pada hadist Nabi “tafakkaru fi khalqi lah, wa la tafakkaru fi dzati lah.. (Pikirkan apa saja yang diciptakan Tuhan, tapi jangan pikirkan tentang Zat-Nya).
Dari hadist tersebut kita mengetahi bahwa pikiran, perkataan, pengetahuan, dan makrifat manusia mustahil mengetahui dan memahami Zat-Nya. Apabila para sufi berbicara tentang prinsip-prinsip penciptaan, mereka tidak membicarakan Zat-Nya melainkan jalan penciptaan secara bertingkat, dimulai dari yang paling dekat kepada-Nya sampai yang paling jauh dari-Nya secara spiritual. Walaupun Zat Tuhan itu la ta’ayun, namun ia ingin dikenal, maka ia menciptakan alam semesta dengan maksud agar Dirinya dikenal. “Kehendak untuk dikenal” inilah yang merupakan permulaan tajalli ilahi. Sesudah tajalli dilakukan maka Dia dinamkan ta’ayyun, yang berarti nyata. Keadaan ta’ayun inilah yang dapat dicapai pikiran, pengetahuan, dan makrifat. Ta’ayyun zat Tuhan dibagi empat martabat sebagai berikut:
1)      Ta’ayyun awal/ ahad: kenyataan Tuhan dalam peringkat pertama yang terdiri dari ilm (pengetahuan), wujud (ada), syuhud (melihat), dan Nur (cahaya). Dengan adanya pengetahuan maka dengan sendirinya Tuhan itu ‘Alim (maha megetahui) dan ma’lum (yang diketahui), karena dia wujud maka dengan sendirinya Dia adalah yang mengada, mengadakan, atau yang ada. Karena Cahaya maka dengan sendirinya Dia yang menerangkan (dengan cahaya-Nya) dan yang diterangkan (oleh cahaynya).

2)      Ta’ayyun Tsani/ ta’ayun ma’lum: kenyataan Tuhan dalam peringkat kedua, yakni kenyataan menjadi dikenal atau diketahui. Pengetahuan atau ilmu Tuhan menyatakan diri dalam bentuk yang dikenal. Pengetahuan Tuhan yang dikenal disebut “al-Ayan al-Tsabitah, yakni kenyataan segala sesuatu. Al-ayan al-Tsabitah disebut juga suwar al-Ilmiyah, yakni bentuk yang dikenal atau hakikat al-Asyya, yakni hakikat segala sesuatu di alam semesta dan ruh idhafi, yani ruh yang terpaut.

3)      Ta’ayun Tsalis, kneyataan Tuhan dalam peringkat ketiga ialah ruh manusia dan mahluk-mahluk.

4)      Ta’ayun rabi’ dan khamis, kenyataan Tuhan dalam peringkat ini adalah pencptaan alam semesta, mahluk-mahluk, termasuk manusia. Penciptaan ini taida berkesudahan dan tiada berhingga[11].

7.    Puisi Hamzah Fansuri
ikan tunggal bernama fadhil
dengan air daim ia washil
isyqinya terlalu kamil
di dalam laut tiada bersahil
ikan itu terlalu ali
bangsanya nurur-rachmani
angganya rupa insani
da’im bermain di lautan baqi
bismil-lahi akan namanya
ruhul-lahi akan nyawanya
wajhul-lahi akan mukanya
zhahir dan batin da’im sertanya
Nurul-lahi nama bapainya
khalqul-lahi akan sakainya
raja sulaiman akan pawainya
da’im bersembunyi dalam balainya
empat bangsa akan ibunya
shummun bukmun akan tipunya
kerjaan Allah yang ditirunya
mengenal Allah dengan ilmunya
Fana fil-lahi akan sunyinya
inni all-lah akan bunyinya
memakai dunia akan ruginya
radhi kan mati da’im pujinya
tarkud-dunya akan labanya
menuntut dunia akan maranya
abdul-wachid asal namanya
da’im anal-haqq akan katanya
kerjanya mabuk dan ‘asyiq
ilmunya sempurna fa’iq
mencari air terlalu shadiq
didalam laut bernama khaliq
ikan itulah terlalu zhahir
diamnya da’im di dalam air
sungguh pun ia terlalu hanyir
washilnya da’im di laut halir
ikan achmaq bersuku-suku
mencari air ke dalam batu
olehmu taqshir mencari guru
tiada ia tahu akan jalan mutu
jalan mutu terlalu ali
itulah ilmu ikan sultani
jangan kau ghafil jauh mencari
washilnya da’im di laut shafi
jalan mutu yogya kau pakai
akan air jangan kau lalai
tinggalkan ibu dan bapai
supaya dapat syurbat kau rasai
hamzah syahranawi sungguhpun hina
tiada ia radhi akan thur sina
diamnya da’im di laut cina
bermain-main dengan gajah mina[12].

Diantara sekian banyak karangan beliau dalam betuk puisi, namun pemakalah hanya menulis sedikit saja dari banyak puisi karangan beliau yang sangat terkenal sampai sekarang bukan hanya di tanah melayu namun juga hampir seluruh dunia.












BAB III
PENUTUP
    A.            Kesimpulan
Hamzah al-Fansuri atau dikenal juga sebagai Hamzah Fansuri adalah seorang cendikiawan, sebagai ulama sufi dan sastrawan yang hidup pada abad ke-16M. Dalam buku Hamzah Fansuri Penyair Aceh, Prof. A. Hasymi menyebut bahwa “Syeikh Hamzah Fansuri hidup dalam masa pemerintahan Sultan Alaidin Riayat Syah IV Saiyidil Mukammil (997-1011 H-1589-1604 M) sampai ke permulaan pemerintahan Sultan Iskandar Muda Darma Wangsa Mahkota Alam (1016-1045 H-1607-1636 M)”.
Perkembangan tasawuf pada masa beliau juga tumbuh dan berkembang dianataranya tasawuf sunni dan falsafi. Adapun tasawuf Sunni adalah tasawuf yang dikembangkan para sufi abad ke-3 dan ke-4 H oleh al-Ghazali dan pengikutnya yang berwawasan moral praktis dan bersandarkan kepada al-Quran dan Sunnah. Sedangkan tasawuf falsafi menggabungkan tasawuf dengen berbagai aliran mistik dari lingkungan di luar Islam. Seperti Hinduisme, kependetaan Kristen, teosofi, dan Neo Plationisme. Meskipun demikian, Nicholson dan Spencer Trimingham “tetap mengakui adanya sumber Islam dalam tasawuf”. 
Untuk perannannya dalam dunia pendidikan beliau sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan kebudayaan Islam, khususnya dalam bidang keruhanian, keilmuwan, filsafat, bahasa, dan sastra.
     B.            Saran
Demikianlah makalah ini disempurnakan, penulis menyadari bahwa dalam penulisan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu masukan para mahasiswa/i serta pembimbing sangat penulis harapkan. dan semoga makalah ini bermamfaat kiranya , amiin.
DAFTAR PUSTAKA

Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, Amazah. Jakarta: 2012.
Abdul Hadi W.M., Tasawuf Yang Tertindas(Kajian Hermeneutika Terhadap Karya-Karya Hamzah Fansuri, Paramadina. Jakarta: 2001.
Abdul Hadi W.M., Risalah Tasawuf Dan Puisi-Puisinya, Mizan. Jakarta: 1995.
Alwi Shihab, Antara Tasawuf Sunni Dan Falsafi, Pustaka Iiman. Jakarta: 2009.
Abdul Aziz Dahlan[ Azyumardi Azra ], Ensiklopedia Tasawuf Jilid 1 A-H, Angkasa. Bandung: 1995.
Solihin, M dan Rosihon Anwar. Ilmu Tasawuf. Pustaka Setia. Bandung: 2008.
Nasution, Harun. Ensiklopedi Islam Di Indonesia. Jilid I, Abdi Utama. Jakarta: 1992/1993.











[1] Marcinkowski, Muhammad Ismail. From Isfahan to Ayutthaya: Contacts Between Iran and Siam in the 17th Century. hal 49–53.
[2] Teeuw, A. Hamzah Fansuri, Sang Pemula Puisi Indonesia. Indonesia antara Kelisanan dan Keberaksaraan. http, biografi+hamzah+fansuri.blog.com
[3]Op.cit.hal 135
[4] Solihin, M dan Rosihin Anwar,  ilmu tasawuf.  hal 251
[5] Ibid, hal 252-253
[6] http://id.wikipedia.org/wiki/lingua_franca
[7] Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Hal 201
[8] Azra, Azyumardi, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara, hal 102
[9] Nasution Harun, Ensiklopedia Islam di Indonesia jil I,  hal 33
[10] Alwi Shihab,  Antara Tasawuf Sunni dan Falsafi, hal 156 
[11] Abdul Hadi W.MM. Tasawuf yang Tertindas (Kajian Hermeneutika Terhadap Karya-Karya Hamzah Fansuri. Hal 149-150.- Abdul Aziz Dahlan (Azyumardi Azra, Ensiklopedia Tasawuf, hal 446.
[12] Abdul Hadi W.M. Risalah Tasawuf dan Puisi- Puisinya, hal 129-131.