PEMIKIR
PENDIDIKAN ISLAM
“
HAMZAH FANSURI ”
Pembimbing:
Rosnawati, MA
Penyusun: Fakrur
Azmi
No Bp/ Nimko: 1.14.4318/ 1204.14.4288
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM MIFTAHUL 'ULUM
(STAI
MU ) JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
(PAI MALAM)
SEMESTER III/ TANJUNGPINANG
TAHUN
AJARAN 2015/ 2016
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji serta syukur kami
panjatkan kehadirat Ilahi Rabbi karena Allah semata, atas limpahan rahmat dan
segala karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
kemudian shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah Saw. Dalam
kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya kepada Guru
kami Yth:
Ibu
Rosnawati selaku Dosen Mata Kuliah Sejarah Pemikiran Pendidikan Islam
Makalah ini disusun berdasarkan kebutuhan bahan ajar mata kuliah Sejarah
Pemikiran Pendidikan Islam. Dalam makalah ini tersaji tentang peran-peran
pemikir Islam dari Hamzah Fansuri. Makalah ini diharapakan dapat mempermudah
mahasiswa dalam mempelajari materi perkuliahan
Sejarah Pemikiran Pendidikan Islam dan pada akhirnya diharapkan dapat
meningkatakan perolehan hasil belajar yang berkompeten.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih
luas kepada pembaca khususnya para mahasiswa PAI (pendidikan agama islam) di
Sekolah Tinggi Agama Islam Miftahul ‘Ulum Tanjungpinang. Penyusun menyadari
bahwa dalam penyusunan Makalah ini masih kurang sempurna, baik dari segi
penyusunan, bahasan, ataupun penulisannya. Untuk itu, kepada pembimbing kami
meminta masukannya demi kesempurnaan
dalam makalah ini dan kedepannya.
Tanjungpinang, 06 Januari 2016
Fakrur Azmi
DAFTAR
ISI
Kata Pengantar
............................................................................................................ i
Daftar Isi
...................................................................................................................... ii
BAB I : PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang ......................................................................................... 5
B.
Rumusan
Masalah .................................................................................... 6
C.
Tujuan
Masalah ........................................................................................ 6
BAB II : PEMIKIRAN PENDIDIKAN
HAMZAH AL-FANSURI
A.
Biografi
Hamzah Al-Fansuri
....................................................................... 7
B.
Perkembangan
Tasawuf Falsafi Dan Sunni .................................................. 9
1.
Pengertian
Tasawuf Sunni Dan Falsafi ................................................... 10
2.
Latar
Belakang Pemikiran
..................................................................... 12
3.
Peran
Hamzah Fansuri Dalam Dunia Pendidikan .................................... 12
4.
Karya-Karya
Hamzah Al-Fansuri ............................................................ 14
5.
Karya
Hamzah Fansuri Berbentuk Syair ................................................. 14
6.
Pemikiran
Hamzah Al-Fansuri ................................................................ 15
7.
Puisi
Hamzah Al Fansuri
......................................................................... 18
BAB III : PENUTUP
A.
Kesimpulan
........................................................................................ 22
B.
Saran
................................................................................................... 22
Daftar Pustaka
............................................................................................................... iv
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kita tidak asing
lagi mendengar
dengan sebutan
Syeikh Hamzah Al-Fansuri. Beliau
dikenal sebagai salah satu pelopor sastra melayu.puisi-puisinya
banyak diperbinsangkan dan menjadi rujukan sastrawan setelahnya. Syeikh
Hamzah Fansuri diakui salah seorang pujangga Islam yang sangat populer di
zamannya yaitu pada (Abad 16 dan 17M), sehingga
kini namanya menghiasi lembaran-lembaran sejarah kesusasteraan Melayu dan
Indonesia. Namanya
tercatat sebagai tokoh kaliber besar dalam perkembangan Islam di Nusantara dari
abadnya hingga ke abad kini.
Syeikh Hamzah Fansuri, selain
dikenal sebagai penyair atau pujangga
juga merupakan salah satu tokoh sufi. Hampir semua penulis sejarah Islam
mencatat bahwa Syeikh Hamzah Fansuri dan muridnya Syeikh Syamsuddin Sumatrani
adalah termasuk tokoh sufi yang sefaham dengan al-Hallaj, faham hulul, ittihad, mahabbah dan
lain-lain adalah seirama.disebabkan faham sufinya tersebut,Syeikh dari Aceh ini
banyak mendapat kritikan dan perlawanan dari golongan yang tidak sefaham
dengannya.
Meskipun paham sufinya mendapatkan pertentangan dari
beberapa kalangan sehingga membuat buku-bukunya dibakar akan tetapi namanya
tidak lekang oleh zaman. Sejarah pembakaran buku sebagaimana terjadi pada awal
masuknya Islam tidak boleh terulang. Buku bagaimanapun kontroversialnya, tetap
merupakan sebuah produk intelektual dari hasil perenungannya. Pembakaran buku,
pengekangan kebebesan berpikir justru akan membuat peradaban berjalan mundur.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun
permasalah berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahannya adalah :
1.
Bagaimana biografi tokoh pemikir Islam Hamzah Fansuri
?
2.
Apa peranannya dalam pendidikan Islam ?
C.
Tujuan
Masalah
Adapun
tujuan berdasarkan permasalahan diatas, maka tujuannya sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui bagaimana biografi filsuf Islam
Hamzah Al-Fansuri.
2.
Untuk mengetahui apa saja peran beliau dalam dunia
pendidikan Islam.
BAB II
PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM HAMZAH AL-FANSURI
A.
Biografi Hamzah Al-Fansuri
Hamzah al-Fansuri atau
dikenal juga sebagai Hamzah Fansuri
adalah seorang cendikiawan, sebagai ulama sufi dan sastrawan
yang hidup pada abad ke-16M. Meskipun nama al-Fansuri sendiri berarti
berasal dari Barus
( tempat sekarang berada di provinsi Sumatera
Utara) ada pula sarjana yang berpendapat ia lahir di Ayutthaya,
ibukota lama kerajaan Siam[1].
Hamzah al-Fansuri lama berdiam di Aceh. Ia terkenal sebagai penganut aliran wahdatul
wujud. Dalam sastra Melayu ia dikenal sebagai pencipta genre syair. A Teeuw menyebutkan bahwa ” Hamzah Fansuri
memperkenalkan individualitas, hal yang sebelumnya tidak dikenal dalam sastra
Melayu lama. Dia juga memperkenalkan bentuk puisi baru untuk mengekspresikan
diri. Inovasi lain adalah pemakaian bahasa yang kreatif. Hamzah Fansuri tidak
segan-segan meminjam kata-kata dari bahasa Arab dan Persia dalam puisinya”
sehingga beliau sering disebut sebagai “
sang pemula puisi Indonesia[2].
Hamzah al fansuri di gelar (takhallus) yang tercantum di belakang
nama kecilnya memperlihatkan bahwa pendekar puisi dan ilmu suluk ini berasal
dari Fansur, sebutan orang-orang Arab terhadap Barus, sekarang sebuah kota
kecil di pantai barat Sumatra yang terletak antara kota Sibolga dan Singkel.
Sampai abad ke-16 kota ini merupakan pelabuhan dagang penting yang dikunjungi
para saudagar dan musafir dari negeri-negeri jauh.
Sayang sekali bukti-bukti tertulis yang dinyatakan kapan sebenarnya
Syeikh Hamzah Fansuri lahir dan wafat, di mana dilahirkan dan di mana pula
jasadnya dibaringkan dan di tanam, tak dijumpai sampai sekarang. Tetapi dari
syair dan dari namanya sendiri menunjukkan bahwa sudah sekian lama beliau
berdominasi di Fansur dekat Singkel sehingga mereka dan turunan mereka pantas
digelari Fansur.
Pada ahli cenderung memahami dari syair-syairnya bahwa Hamzah Fansuri
lahir di tanah Syahmawi, tapi tidak ada kesepakatan mereka dalam
mengidentifikasikan tanah Syahmawi itu, ada petunjuk tanah Aceh sendiri ada
yang menunjuk tanah Siam, dan bahkan ada sarjana yang menunjuk negeri Persia
sebagai tanah yang di Aceh oleh nama Syamawi[3].
Dalam buku Hamzah Fansuri Penyair Aceh, Prof. A. Hasymi menyebut bahwa “Syeikh Hamzah Fansuri hidup dalam masa
pemerintahan Sultan Alaidin Riayat Syah IV Saiyidil Mukammil (997-1011
H-1589-1604 M) sampai ke permulaan pemerintahan Sultan Iskandar Muda Darma
Wangsa Mahkota Alam (1016-1045 H-1607-1636 M)”.
Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Syeikh Hamzah al-Fansuri
telah belajar berbagai ilmu yang memakan waktu lama. Selain belajar di Aceh
sendiri beliau telah mengembara ke pelbagai tempat, di antaranya ke Banten
(Jawa Barat), bahkan sumber yang lain menyebut bahwa beliau pernah mengembara
keseluruh tanah Jawa, Semenanjung Tanah Melayu, India, Parsi dan Arab.
Dikatakan bahwa Syeikh Hamzah al-Fansuri sangat mahir dalam ilmu-ilmu fikih, tasawuf, falsafah,
mantiq, ilmu kalam, sejarah, sastra dan lain-lain. Dalam bidang bahasa pula
beliau menguasai dengan kemas seluruh sektor ilmu Arabiyah, fasih dalam ucapan
bahasa itu, berkebolehan berbahasa Urdu, Parsi, Melayu dan Jawa[4].
Riwayat hidup Hamzah Fansuri masih dipersoalkan oleh para peneliti dan
sangat sulit diketahui. Sampai sekarang tidak ditemukan bukti-bukti tertulis
yang memaparkan masa dan perjalanan hidupnya, apa saja risalah tasawuf dan
berapa banyak jumlah puisi asli yang telah ditulis olehnya. Valentinj, sarjana
Belanda yang berkunjung ke Barus pada awal abad ke-18 “telah melaporkan dalam catatan perjalananya bahwa masyarakat Melayu di
Sumatera memberi penghargaan yang tinggi kepada puisi-pusi Hamzah Fansuri”.
Hanya berdasarkan fakta yang terbatas, pengkaji memastikan bahwa Hamzah Fansuri
hidup antara pertengahan abad ke-16 hingga awal ke-17 M. Kreamer mengemukakan
bahwa ” Nama Fansuri tidak disebut di
dalam Hikayat Aceh, karena tokoh ini sering mengembara dan jarang sekali berada
di Aceh”. Bahkan Nur al-Din al-Raniri penulis kitab Bustan sebenarnya
mengetahui bahwa Hamzah Fansuri ialah tokoh penting pada zamannya dan banyak
sekali muridnya. Untuk mencantumkan nama Hamzah Fansuri dengan tinta emas dalam
lembaran sejarah Aceh, sama saja maknanya dengan mencoreng nama baik kerajaan
yang begitu harum sebagai pusat syiar dan kebudayaan islam.
Dalam Hujjat al-Shiddiq secara tersirat al-Raniri ”menilai kedudukan ulama-ulama lokal seperti
Hamzah Fansuri dan Syams al-Din Pasay masih rendah dalam penguasaan ilmu agama
dan keruhanian”. Penjelasan-penjelasan mereka tentang ilmu ketuhanan dan
ontology sufi dianggap menyesatkan pemahaman masyarakat awam. Hamzah
Fansuri juga dianggap sebagai pembawa ajaran wujudiyah dlalalah, yakni
wujudiyah yang mulhid lagi zindiq.
Kraemer mengemukakan bahwa “Hamzah
Fansuri hidup hingga tahun 1636”. Kemudian menurut Winstedt, “Fansuri wafat 1630 M”. Syed M. Naquib
al-Attas dan Brakel mengemukakan bahwa Hamzah Fansuri ”hidup setidak-tidaknya sampai awal abad ke-17 M ”. Pendapat ini
agak dapat diterima akal jika dicocokkan dengan beberapa fakta:
Ø
Muncul kitab al-Tuhfah pada awal abad-17 di
Aceh dan cepatnya ajaran ‘martabat tujuh’ tersebar luas tidak berarti bahwa
peranan Hamzah Fansuri dan pengaruh ajaran tasawufnya berkurang, apalagi
menambahkan dia sudah wafat.
Secara
prinsipil tidak ada perbedaan yang berart dan penting antara ajaran ‘martabat
tujuh’ dengan ‘martabat lima’. Dua ajaran tasawuf ini dalam banyak aspek tetap
setia pada sumber asalnya, yakni ajaran Ibn ‘Arabi, Sadr al-Din al-Qunawi, Fakh
al-Din Iraqi, Abd Karim al-JiIli, dan Abd al-Rahman Jami.
Ø
Pada zaman tersebar luiasnya ajaran ‘martabat tujuh’
di Sumatera dan Jawa, setidaknya pada akhir abad ke-17, ada dua karya Hamzah
Fansuri, yaitu al-Muntahi dan Syarah al-Asyiqin diterjemahkan ke dalam bahsa
Jawa dan Banten (Drewes dan Brakel 1986,226-77)
Ø
Hamzah Fansuri sering menyebut nama kota Barus yang
mungkin merupakan tempat dia paling banyak menghabiskan sebagian besar
hidupnya dan menjalankan kegiatan kesufiannya. [2]
Dalam salah
satu syairnya disebutkan bahwa ia lahir
di suatu desa bernama Syharu Nawi di Siam, yaitu yang sekarang disebut Thailand.
Ia hidup pada masa Sultan Alauddin Ri’ayat Syah dan awal pemerintahan Sultan
Iskandar Muda di kerajaan Aceh antara 1550-1605. Salah satu muridnya
yang terkenal adalah Syam al-Din al-Sumaterani.
B.
PerkembanganTasawuf Falsafi dan Tasawuf Sunni
Lepas dari
peran para sufi. Ketiga tokoh yang coba diangkat dalam makalah ini, Hamzah
Fansuri, al-Raniri, Singkili merupakan tokoh perintis tasawuf di masa awal
Indonesia. Haidar Bagir dalam memberikan pengantar di buku “Antara Tasawuf Sunni & Falsafi: Akar
Tasawuf di Indonesia” mengatakan bahwa tasawuf Sunni bersifat suluki, tasawuf
akhlaqi, tarekat, dan penyimpangan-penyimpangan darinya”. Tasawuf falsafi
sempat menjadi pesaing yang tangguh bagi tasawuf Sunni. Kedua aliran tasawuf
ini meski dalam beberapa hal berbagi pemahaman dan keyakinan yang sama, tetap
saja tak terhindar dari konflik. Diantara perdebatan yang hangat adalah
perdebatan Hamzah Fansuri—yang mawakili tasawuf falsafi, sedangkan al-Raniri
dan al-Singkili mewakili Tasawuf Sunni.
Perlu
diketahui bahwa tasawuf Sunni lebih banyak memberikan kontribusi dalam
proses Islamisasi di Indonesia. Para pelopor dakwah menjabarkan ajaran-ajaran
Islam dengan cara praktik, keteladanan, serta pengakaran yang lebih baik.
Orientasi seperti ini terikat oleh tradisi dan petunjuk-petujukn Nabi. Oleh
karena itu model pengajaran tasawuf Sunni yang diperkenalkan para da’i Alawiyyin yang memotori proses
islamisasi diNusantara sejak abad ke -13M di Sumatera mengalami kemajuan pesat
di Jawa pada abad 15-16 M dengan tokoh-tokoh sentral Wali Songo. Satu abad
mendatang, muncul tulisan-tulisan dalam tasawuf yang berorientasi filosofis di
Sumatera. Perkembangan ini mencerminkan pergelutan pemikiran dan ideology
antara tasawuf Sunni dan falsafi di Indonesia.
Pigeand,
seorang orientalis, memandang perlu mengklasifikasikan “umat Islam Indonesia periode 15 & 19 ke dalam dua golongan, yakni
golongan sufi dan ahl Sunnah wa ahl
Sunnah wa al-jamaah. Kelompok pertama di atas merupakan penganut tasawuf
falsafi, seperti Hamzah Fansuri dan Syamasuddin al-Sumaterani dari Sumatera,
serta Ronggo Warsito di Jawa yang semuanya penganut Panteisme atau Wahdah al-Wujud”. Ironisnya
al-Ghazali menurut Micholson “bukan sufi
karena tidak meilki pandagan panteisme”. Oleh karenanya pembatasan seperti
itu tidak dapat diterima. Menurut al-Ghazali, tasawuf adalah “wahana pendidikan moral dan jembatan menuju
akhirat serta gerakan revitalisasi pengetahuan agama dalam taraf teoritis dan
praksis”.
1.
Pengertian
tasaawuf sunni dan falsafi
Adapun yang
dimaksud dengan tasawuf Sunni adalah tasawuf yang dikembangkan para sufi abad
ke-3 dan ke-4 H oleh al-Ghazali dan pengikutnya yang berwawasan moral praktis
dan bersandarkan kepada al-Quran dan Sunnah. Sedangkan tasawuf falsafi
menggabungkan tasawuf dengen berbagai aliran mistik dari lingkungan di luar
Islam. Seperti Hinduisme, kependetaan Kristen, teosofi, dan Neo Plationisme.
Meskipun demikian, Nicholson dan Spencer Trimingham “tetap mengakui adanya sumber Islam dalam tasawuf”.
Tasawuf
Sunni dapat disebut juga dengan tasawuf akhlaqi. Ia berkembang dari zaman
klasik hingga modern. Tasawuf ini juga banyak berkembang di dunia Islam,
terutama di Negara-negaa bermazhab Syafi’i.
Ciri-ciri
tasaswuf Sunni adalah:
ü Melandaskan
diri pada al-Quran dan Sunnah.
ü Tidak
menggunakan terminologi-terminologi filsafat sebagaimana terdapat pada ungkapan
syathohat.
ü Bersifat
mengajarkan dualisme dalam hubungan antara Tuhan dan manusia.
ü Kesinambungan
antara hakikat dan syariat.
ü Lebih
berkonsentrasi pada persoalan pembina’an, pendidikan akhlaq, serta pengobatan
jiwa dengan cara riyadhah (latihan mental), dan langkah takholli,
tahalli dan tajalli[5]
Jika kita
menilik sejarahnya dapat diketahui pada abad III dan IV H, terdapat dua aliran,
yakni tasawuf Sunni dan tasawuf semi falsafi. Pertarungan Tasawuf
akhirnya dimenangkan oleh tasawuf Sunni dengan tokohnya Abu Hasan
al-Asyari dan al-Ghazali. Perkembangan tasawuf pada tersebut yang berlansung
sekitar abad V H mengalami reformasi. Tokoh yang paling menonjol dalam hal ini
adalah Imam al-Qusyairi (yang wafat pada tahun 465 H) yang berperan melapangkan
jalan bagi al-Ghazali untuk memenangkan tasawuf Sunni di Dunia Islam.
Kemenangan itu juga terlihat dari sosok pelopor dakwah Islam di Indonesia
yang ternyata adalah anak cucu Imam Ahmad ibn Isa al-Muhajir. Garis keturunan
al-Muhajir berkesinambuungan sampai kepada Imam Ja’far al-Shadiq, yang menurut
al-Qusyari dan al-Attar merupakan peletak dasar tasawuf.
Dari situ
pula sejarawan, Orientalis, dan peneliti menyimpulkan bahwa tasawuf merupakan
faktor terpenting bagi tersebarnya Islam secara luas di Asia Tenggara. Akan
tetapi ada perbedaan pendapat mengenai kedatangan tarekat dan tasawuf falsafi
yang diasumsikan menjadi sumber inspirasi dalam penyebaran Islam tersebut.
Namun tasawuf Sunni lah yang memberikan kontribusi dalam proses Islamisasi di
Indonesia.
2. Latar Belakang Pemikiran
Pemikiran
Hamzah Fansuri banyak dipengaruhi olah ajaran sufi Arab dan Persia sebelum abad
ke-16M, seperti Bayazid Busthami, Mansur al-Hallaj, Faridud din al-Attar,
Syaikh Junaid al-Baghdadi, Ahmad Ghazali, iBn Arabi, Rumi, Maghribi,
Mahmud Shabistari, iRaqi, jami, dan al-Qunawi. Namun menurut penulis
sendiri(pemakalah) lebih mengunggulkan pengaruh dari Ibn Arabi lah yang
terlihat cukup besar dalam pemikiran tasawufnya, terutama dalam pemikiran wahdah
al-Wujud, berdasarkan
artikel-artikel yang tertulis dari berbagai sumber bacaan sedikitnya dari
daftar pustaka ini dan sebagian juga dari mendengarkan bukti- bukti sejarah di
daerah Aceh.
3.
Peran Hamzah
Fansuri dalam dunia pendidikan
Fansuri
bukan hanya seorang ulama dan sastrawan terkemuka, tetapi seorang perintis dan
pelopor. Sumbangannya sangat besar bagi perkembangan kebudayaan Islam,
khususnya dalam bidang keruhanian, keilmuwan, filsafat, bahasa, dan
sastra. Selain itu ia juga berani melancarkan serangan kritiknya kepada
raja dan bangsawan, sehingga tidak mengherankan kalangan istana kurang suka
padanya hingga menyebabkan namanya tak tertulis di dua sumber penting sejarah
Aceh, baik Hikayat Aceh, maupun Bustan al-Salatin.
Berikut penjelasan
besarnya peran Hamzah Fansuri, terutama untuk Nusantara:
Ø Di bidang
keilmuan, ia mempelopori penulisan risalah tasawuf/ keagamaan yang demikian
sistematis dan bersifat ilmiah.
Ø Di bidang
sastra, ia mempelopori penulisan puisi-puisi filosofis dan mistis bercorak
Islam. Fansuri juga merupakan orang yang pertama kali mencetuskan puisi empat
baris dengan skema sajak akhir a-a-a-a. Selain itu, masih dalam bidang sastra,
ia juga berhasil meletakkan dasar-dasar puitika dan estetika melayu yang mantap
dan kukuh.
Ø Di bidang
kebahasaan, ia berhasil mengang kat martabat bahasa Melayu dari sekedar lingua
franca menjadi suatu bahasa intelektual dan ekspresi keilmuan yang canggih
dan modern. Dengan demikian kedudukan bahasa Melayu begitu penting, bahkan
mengungguli bahasa Jawa yang sebelumnya telah jauh bekembang[6].
Di dalam syarah
al-Asyiqin, yang menurut Sayed M. Naquib al-Attas merupakan risalah tasawuf pertama Hamzah
Fansuri, secara tersirat penulisnya mengatakan bahwa karyanya ditulis untuk
memenuhi tuntutan masyarakat Melayu di Aceh pada saat itu, yakni memberikan
jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan musykil berkenaan dengan masalah al-A’yan
al-Tsabitah atau tasawuf wujudiyah.
Dari situ
kita bisa mengetahui bahwa belum ada buku tasawuf yang ditulis dalam bahasa
melayu. Kitab-kitab yang ada masih bahasa Arab dann Parsi. Dengan karyanya
tersebut, Hamzah Fansuri tebukti bukan hanya seorang pembaru spiritual
pada masanya, tetapi juga perintis penulisan kitab keagamaan dan keilmuan dalam
bahasa Melayu[7]. Di
bidang filsafat, tafsir, dan tela’ah sastra beliau juga mempelopori penerapan
metode ta’wil atau hermeneutika keruhaniahan.
Hal itu
dapat dilihat dalam karyanya Asrar al-Arifin (rahasia orang-orang
‘Arif), sebuah risalah tasawuf klasik yang pernah dihasilkan oleh ahli tasawuf
Nusantara. Di situ ia membahas tafsir dan ta’wil atas puisinya sendiri,
dengan analisis yang tajam dan dengan landasan pengetahuan yang luas mencangkup
metafisika,teologi, logika, epistemology, dan estetika[8].
4.
Karya- karya
hamzah al fansuri
Karya Hamzah
Fansuri yang dapat dijumpai peneliti adalahTiga buah Risalah berbentuk prosa
dan 32 kumpulan syair yang menggunakan bahasa melayu.
Ketiga
risalah tersebut yakni:
Ø Asrar
al-Arifin (rahasia orang-orang ‘Arif):
o berisi
uraian atau penafsiran terhadap 15 bait puisi-puisi sufistik yang ia ciptakan
sendri mengenai masalah metafisika dan ontology wujudiyah.
Ø Syarah
al-Asyiqin (minuman segala orang yang berahi):
o berisi tentang ringkasan ajaran wahdah
al-Wujud dan cara mencapai makrifat. Pada akhir abad-17 Syarah diterjemahkan ke
dalam bahasa Jawa bersamaan dnegan tersebarnya paham wujudiyah di pulau
Jawa. Syarh ini juga ditulis sebagai panduan bagi pemula ilmu suluk.
Ø Mentahi (ufuk
terjauh):
o berbicara tentang bagaimana penciptaan alam,
bagiamana Tuhan memanifestasikan diri-Nya, dan bagiamana upaya manusia untuk
kembali ke asalnya.
5.
Karya hamzah
fansuri berbentuk syair:
Ø Syair Ikan
tongkol/ tunggal
Ø Syair Si
Burung Pingai
Ø Syair Bahr
al-Haq
6.
Pemikiran
hamzah al fansuri
Ø Syariat,
Ø Tarekat,
Ø Hakekat, dan
Ø Makrifat :
Hamzah
Fansuri menganggap pentingnya syariat dalam perjalanan tasawufnya. Sebagai
seorang Syaikh, ia memperingatkan pengikutnya yang menempuh jalan tarekat agar
tidak melecehkan syariat. Ia mengatakan bahwa “ barang siapa mengerjakan sembahyang fardhu, puasa fardhu, makan
halal, meninggalkan haram, tidak dengki, tidak ujub, tidak takabbur, dll,
berarti ia menggunakan syariat”. Karena perbutan-perbuatan tersebut adalah
perbuatan Rasulullah seyogyanya kita masuk ke dalam tarekat, karena ia tidak
lain daripada syariat. Perlu diketahui bahwa tarekat merupakan hakikat, karena
tarekat merupakan permualan hakikat sebagaimana syariat permulaam taarekat.
Selanjutnya ia juga mengatakan bahwa alam hakikat itu jalan Nabi Muhammad
Rasulullah, kesudahan jalannya. Barang siapa memakai ketiganya (syariat,
tarekat, hakikat) maka ia kamil mukammal.
Sementara pandangannya
tentang makrifat, menurutnya, makrifat adalah rahasia Nabi. Tidak sah
sembahyang tanpa makrifah. Makrifat ialah mengenal Allah dengan sebenarnya,
mengenal bahwa ia tidak terhingga dan berkesudahan, esa, bukan dua, kekal,
tidak fana, tidak putus, tidak kekal, tidak mitsal dan sekutu, tidak bertempat,
tidak bermasa dan tidak berakhir”[9].
Ø Wujudiyyah
Ketika
membicarkan wujud Allah dan wujud alam ia membedakan pandangannya bagi Ahl
al-Suluk. Bagi ulama syariat, zat Allah dan wujud Allah dua hukumnya,
begitu juga dengan wujud ilmu dan alim, alam dan wujud Allah. Sementara
menurut ahl-as-Suluk, zat Allah dan Wujud Allah esa hukumnya, Wujud alam dan
wujud Allah esa juga hukumnya, karena alam tidak berwujud dengan dirinya
sendri, tetapi wujudnya adalah wujud yang diberikan oleh Tuhan, seperti cahaya
bulan yang bercahaya tidak dengan cahayanya sendiri, tatapi cahaya yang
dipantulkan dari matahari.
Berkaiatan
dengan menyatunya Tuhan dan alam, ia mengatakan “Sebagaimana laut tidak
bercerai dengan ombaknya, demikian juga Allah tidak bercerai dengan alam. Akan
tetapi keberadaanya bukan di dalam alam, bukan pula di luar alam, ia bukan di
atas dan bukan di bawah, bukan di kanan alam, bukan pula di kiri alam, bukan di
hadapan bukan pula di belakang alam, Ia tidak berpisah dan tidak pula bersatu
dengan alam, tidak dekat dan tidak jauh.
Ø Nur Muhammad
Nur Muhammad
merupakan pengetahuan Tuhan yang meliputi semua yang ada dan masih berada di
alam ghaib. Ia dinamakan hakikat Muhammadiyah atau awal manisfestasi Zat Tuhan
( roh Idhofi/ akal paripurna/ nur/
qolam yang Maha Tinggi. Dalam hal ini Rasulullah bersabda: “Yang pertama diciptakan Allah adlah ruh;
yang pertama diciptakan Allah adalah akal; yang pertama diciptakan Allah adalah
al-Qolam,”
Menurut
Fansuri yang dimaksud Rasulullah adalah ”ilmu
Tuhan yang karena ia adalah kehidupan, maka dinamakan ruh; atau karena
makna inforasi yang nyata, maka ia dinamakan cahaya; atau karena informasi
termuat dalam huruf-huuf maka ia dinamakan al-Qolam, pena; atau karena
ruh dan cahya atau karena keduanya menampakkan informasi yang diketahui”.
Itu sebabnya Allah berifman dalam hadist Qudsi, “kalau bukan karenamu Muhammad ,
niscaya Aku tidak menciptakan alam”. Jadi kalau bukan karena Nur Muhmaad,
niscaya alam ini tidak tercipta, sesuai dengan hadist Qudsi “ Aku
menciptakan semua karena engkau, dan Aku menciptakan engkau karena Aku[10].
Ø Martabat
penciptaan
Dalam bab V
kitab Syarh al-ASyiqin disebutkan tentang prinsip-prinsip ontology
wujudiyah, yaitu mengenai tajalli zat Tuhan. Ia menerjemahkan tajallli sebagai
penampakan pengetahuan Tuhan melalui penciptaan alam semesta dan isinya.
Penciptaan secara turun men urn tersusun dari lima martabat, yaitu dari atas ke
bawah, dari yang tinggi ke yang rendah, sesuai peringkat keruhanian dan
luas-sempit sifatnya, dari yang umum ke yang khusus.
Zat Tuhan
disebut la ta’ayun, karena akal pikiran, perkataan, pengetahuan dan makrifat
menusia tidak akan sampai kepada-Nya. Pandangan ini didasarkan pada hadist Nabi
“tafakkaru fi khalqi lah, wa la tafakkaru fi dzati lah.. (Pikirkan apa
saja yang diciptakan Tuhan, tapi jangan pikirkan tentang Zat-Nya).
Dari hadist
tersebut kita mengetahi bahwa pikiran, perkataan, pengetahuan, dan makrifat
manusia mustahil mengetahui dan memahami Zat-Nya. Apabila para sufi berbicara
tentang prinsip-prinsip penciptaan, mereka tidak membicarakan Zat-Nya melainkan
jalan penciptaan secara bertingkat, dimulai dari yang paling dekat kepada-Nya
sampai yang paling jauh dari-Nya secara spiritual. Walaupun Zat Tuhan itu la
ta’ayun, namun ia ingin dikenal, maka ia menciptakan alam semesta dengan
maksud agar Dirinya dikenal. “Kehendak untuk dikenal” inilah yang merupakan
permulaan tajalli ilahi. Sesudah tajalli dilakukan maka Dia dinamkan ta’ayyun,
yang berarti nyata. Keadaan ta’ayun inilah yang dapat dicapai pikiran,
pengetahuan, dan makrifat. Ta’ayyun zat Tuhan dibagi empat martabat
sebagai berikut:
1) Ta’ayyun
awal/ ahad: kenyataan Tuhan dalam peringkat pertama yang terdiri dari ilm
(pengetahuan), wujud (ada), syuhud (melihat), dan Nur
(cahaya). Dengan adanya pengetahuan maka dengan sendirinya Tuhan itu ‘Alim
(maha megetahui) dan ma’lum (yang diketahui), karena dia wujud maka dengan
sendirinya Dia adalah yang mengada, mengadakan, atau yang ada. Karena Cahaya
maka dengan sendirinya Dia yang menerangkan (dengan cahaya-Nya) dan yang
diterangkan (oleh cahaynya).
2) Ta’ayyun
Tsani/ ta’ayun ma’lum: kenyataan Tuhan dalam peringkat kedua, yakni
kenyataan menjadi dikenal atau diketahui. Pengetahuan atau ilmu Tuhan
menyatakan diri dalam bentuk yang dikenal. Pengetahuan Tuhan yang dikenal
disebut “al-Ayan al-Tsabitah, yakni kenyataan segala sesuatu. Al-ayan
al-Tsabitah disebut juga suwar al-Ilmiyah, yakni bentuk yang dikenal
atau hakikat al-Asyya, yakni hakikat segala sesuatu di alam semesta dan ruh
idhafi, yani ruh yang terpaut.
3) Ta’ayun
Tsalis, kneyataan Tuhan dalam peringkat ketiga ialah ruh manusia dan mahluk-mahluk.
4) Ta’ayun
rabi’ dan khamis, kenyataan Tuhan dalam peringkat ini adalah pencptaan
alam semesta, mahluk-mahluk, termasuk manusia. Penciptaan ini taida berkesudahan
dan tiada berhingga[11].
7.
Puisi Hamzah
Fansuri
ikan tunggal bernama fadhil
dengan air daim ia washil
isyqinya terlalu kamil
di dalam laut tiada bersahil
ikan itu terlalu ali
bangsanya nurur-rachmani
angganya rupa insani
da’im bermain di lautan baqi
bismil-lahi akan namanya
ruhul-lahi akan nyawanya
wajhul-lahi akan mukanya
zhahir dan batin da’im sertanya
Nurul-lahi nama bapainya
khalqul-lahi akan sakainya
raja sulaiman akan pawainya
da’im bersembunyi dalam balainya
empat bangsa akan ibunya
shummun bukmun akan tipunya
kerjaan Allah yang ditirunya
mengenal Allah dengan ilmunya
Fana fil-lahi akan sunyinya
inni all-lah akan bunyinya
memakai dunia akan ruginya
radhi kan mati da’im pujinya
tarkud-dunya akan labanya
menuntut dunia akan maranya
abdul-wachid asal namanya
da’im anal-haqq akan katanya
kerjanya mabuk dan ‘asyiq
ilmunya sempurna fa’iq
mencari air terlalu shadiq
didalam laut bernama khaliq
ikan itulah terlalu zhahir
diamnya da’im di dalam air
sungguh pun ia terlalu hanyir
washilnya da’im di laut halir
ikan achmaq bersuku-suku
mencari air ke dalam batu
olehmu taqshir mencari guru
tiada ia tahu akan jalan mutu
jalan mutu terlalu ali
itulah ilmu ikan sultani
jangan kau ghafil jauh mencari
washilnya da’im di laut shafi
jalan mutu yogya kau pakai
akan air jangan kau lalai
tinggalkan ibu dan bapai
supaya dapat syurbat kau rasai
hamzah syahranawi sungguhpun hina
tiada ia radhi akan thur sina
diamnya da’im di laut cina
bermain-main dengan gajah mina[12].
Diantara sekian banyak karangan beliau
dalam betuk puisi, namun pemakalah hanya menulis sedikit saja dari banyak puisi
karangan beliau yang sangat terkenal sampai sekarang bukan hanya di tanah
melayu namun juga hampir seluruh dunia.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hamzah al-Fansuri atau
dikenal juga sebagai Hamzah Fansuri
adalah seorang cendikiawan, sebagai ulama sufi dan sastrawan
yang hidup pada abad ke-16M. Dalam buku Hamzah Fansuri Penyair Aceh,
Prof. A. Hasymi menyebut bahwa “Syeikh
Hamzah Fansuri hidup dalam masa pemerintahan Sultan Alaidin Riayat Syah IV
Saiyidil Mukammil (997-1011 H-1589-1604 M) sampai ke permulaan pemerintahan
Sultan Iskandar Muda Darma Wangsa Mahkota Alam (1016-1045 H-1607-1636 M)”.
Perkembangan
tasawuf pada masa beliau juga tumbuh dan berkembang dianataranya tasawuf sunni
dan falsafi. Adapun tasawuf Sunni adalah tasawuf yang dikembangkan para
sufi abad ke-3 dan ke-4 H oleh al-Ghazali dan pengikutnya yang berwawasan moral
praktis dan bersandarkan kepada al-Quran dan Sunnah. Sedangkan tasawuf falsafi
menggabungkan tasawuf dengen berbagai aliran mistik dari lingkungan di luar
Islam. Seperti Hinduisme, kependetaan Kristen, teosofi, dan Neo Plationisme.
Meskipun demikian, Nicholson dan Spencer Trimingham “tetap mengakui adanya sumber Islam dalam tasawuf”.
Untuk perannannya
dalam dunia pendidikan beliau sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan
kebudayaan Islam, khususnya dalam bidang keruhanian, keilmuwan, filsafat,
bahasa, dan sastra.
B.
Saran
Demikianlah
makalah ini disempurnakan, penulis menyadari bahwa dalam penulisan masih jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu masukan para mahasiswa/i serta pembimbing
sangat penulis harapkan. dan semoga makalah ini bermamfaat kiranya , amiin.
DAFTAR
PUSTAKA
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf,
Amazah. Jakarta: 2012.
Abdul Hadi W.M., Tasawuf Yang Tertindas(Kajian Hermeneutika
Terhadap Karya-Karya Hamzah Fansuri, Paramadina. Jakarta: 2001.
Abdul Hadi W.M., Risalah Tasawuf Dan Puisi-Puisinya,
Mizan. Jakarta: 1995.
Alwi Shihab, Antara Tasawuf Sunni Dan Falsafi,
Pustaka Iiman. Jakarta: 2009.
Abdul Aziz Dahlan[
Azyumardi Azra ], Ensiklopedia
Tasawuf Jilid 1 A-H, Angkasa. Bandung: 1995.
Solihin, M dan Rosihon Anwar. Ilmu
Tasawuf. Pustaka Setia. Bandung: 2008.
Nasution, Harun. Ensiklopedi
Islam Di Indonesia. Jilid I, Abdi Utama. Jakarta: 1992/1993.
[1] Marcinkowski, Muhammad Ismail. From Isfahan to Ayutthaya:
Contacts Between Iran and Siam in the 17th Century. hal 49–53.
[2] Teeuw, A. Hamzah Fansuri,
Sang Pemula Puisi Indonesia. Indonesia antara Kelisanan dan Keberaksaraan.
http, biografi+hamzah+fansuri.blog.com
[3]Op.cit.hal
135
[5] Ibid, hal 252-253
[6] http://id.wikipedia.org/wiki/lingua_franca
[7] Azra,
Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah
dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Hal 201
[8] Azra,
Azyumardi, Jaringan Global dan Lokal
Islam Nusantara, hal 102
[9] Nasution
Harun, Ensiklopedia Islam di Indonesia
jil I, hal 33
[11] Abdul
Hadi W.MM. Tasawuf yang Tertindas (Kajian
Hermeneutika Terhadap Karya-Karya Hamzah Fansuri. Hal 149-150.- Abdul Aziz
Dahlan (Azyumardi Azra, Ensiklopedia
Tasawuf, hal 446.
[12] Abdul
Hadi W.M. Risalah Tasawuf dan Puisi-
Puisinya, hal 129-131.